Pernikahan Jilu Menurut Islam: Kesalahpahaman yang Masih Hidup di Tengah Masyarakat Modern

pasangan-muda-jawa-menikah-dengan-nuansa-islami-di-jawa-tengah

Pernikahan Jilu Menurut Islam: Kesalahpahaman yang Masih Hidup di Tengah Masyarakat Modern – Di sebuah sore yang tenang di pedesaan Jawa Tengah, seorang ibu menatap kalender sambil berbisik, “Jangan bulan depan, Nak, nanti jadi Jilu.”
Anaknya hanya tersenyum kaku, antara menghormati dan ingin menjelaskan.
Tradisi lama kembali hadir di tengah niat suci membangun rumah tangga — mitos Jilu, keyakinan bahwa pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga bisa membawa kesialan.

Namun, benarkah Islam melarang pernikahan Jilu?
Ataukah ini hanya warisan budaya yang belum tersentuh oleh pemahaman syariat?


🟢 Asal Usul dan Makna Budaya Jilu dalam Tradisi Jawa

Tradisi Jilu berasal dari istilah Jawa “siji-telu” (satu-tiga) — merujuk pada larangan menikahkan anak pertama dengan anak ketiga.
Menurut Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X (BRIN, 2023), kepercayaan ini muncul dari konsep primbon Jawa yang mengaitkan urutan kelahiran dengan keseimbangan hidup dan harmoni rumah tangga.

Dulu, kepercayaan ini berfungsi sebagai “pengatur sosial” — mencegah keluarga dengan status atau usia yang terlalu berbeda untuk menikah.
Namun seiring waktu, fungsi sosial itu berubah menjadi keyakinan mistik, dianggap bisa membawa petaka seperti perceraian, kemiskinan, atau kematian pasangan.

Menurut UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, fenomena seperti ini disebut cultural religiosity — perpaduan antara ajaran agama dan budaya lokal yang sulit dipisahkan dalam masyarakat.
Masyarakat masih sering menganggapnya bagian dari “ajaran leluhur” yang tak boleh dilanggar, meski tanpa dasar agama.


🟣 Pandangan dan Hukum Pernikahan Jilu Menurut Islam

Dalam Islam, tidak ada satu pun dalil, ayat, atau hadis yang melarang menikah berdasarkan urutan kelahiran.
Islam menilai pernikahan dari niat, akhlak, dan kecocokan iman, bukan dari hitungan hari, tanggal, atau urutan anak.

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), segala bentuk larangan atau kepercayaan yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah termasuk dalam kategori takhayul (kepercayaan tanpa dasar syar’i).
Artinya, larangan Jilu tidak memiliki legitimasi agama.

“Selama calon suami dan istri memenuhi syarat sah nikah — yaitu ada wali, saksi, dan ijab kabul — maka pernikahannya sah secara syariat, apa pun urutan kelahirannya,” jelas KH Cholil Nafis, Ketua MUI Bidang Dakwah, dalam sebuah wawancara (2024).

Menurut kbwlovecom, keimanan dan niat yang tulus jauh lebih menentukan keberkahan rumah tangga daripada hitungan tanggal lahir atau posisi anak dalam keluarga.
Islam mengajarkan untuk berprasangka baik dan bertawakal kepada Allah, bukan kepada angka atau tradisi yang tak berdasar.


🟠 Mengapa Kesalahpahaman tentang Jilu Masih Bertahan di Masyarakat Modern?

Pertanyaan ini menarik.
Kita hidup di zaman yang penuh teknologi, tapi sebagian masyarakat masih takut dengan “Jilu”. Mengapa?

Menurut Pusat Kajian Budaya UGM (2023), kepercayaan seperti ini bertahan karena memiliki fungsi sosial: menenangkan hati orang tua dan menjaga harmoni keluarga besar.
Dalam masyarakat Jawa, “nguri-uri kabecikan” (melestarikan kebaikan) sering dianggap lebih penting daripada logika hukum agama.

Selain itu, survei Litbang Kompas tahun 2023 menunjukkan bahwa 42% masyarakat Jawa Tengah masih mempertimbangkan “primbon” dalam urusan jodoh.
Bagi sebagian keluarga, menikah melanggar Jilu bisa dianggap menantang nasib atau bahkan “durhaka pada leluhur”.

Menurut kbwlovecom, fenomena ini adalah cerminan benturan halus antara dua nilai besar:

  1. Rasa hormat kepada adat dan orang tua,
  2. Ketaatan pada keyakinan agama.

Banyak pasangan muda akhirnya memilih menunda atau mencari “penyiasatan” agar tetap bisa menikah tanpa dianggap melanggar adat — misalnya menukar urutan nama dalam administrasi pernikahan.


🟡 Cara Bijak Menyikapi Tradisi Jilu Tanpa Menyinggung Keluarga

Islam tidak pernah menyuruh umatnya untuk menentang orang tua dengan keras.
Namun, saat tradisi berseberangan dengan akidah, sikap lembut dan bijak menjadi kunci.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan pasangan muda:

  • 1️⃣ Berdialog dengan penuh adab.
    Jelaskan bahwa Islam menilai dari niat dan akhlak, bukan urutan kelahiran.
    Gunakan dalil sederhana seperti QS. Al-Hujurat:13.
  • 2️⃣ Libatkan tokoh agama lokal.
    Menurut KUA Kecamatan Sleman (2024), banyak calon pasangan yang berhasil meyakinkan keluarga setelah menghadirkan ustaz atau penghulu sebagai penengah.
  • 3️⃣ Hindari perdebatan terbuka.
    Menolak secara frontal sering dianggap tidak sopan. Lebih baik mengajak berdiskusi dalam suasana tenang dan penuh hormat.
  • 4️⃣ Tunjukkan niat baik secara nyata.
    Misalnya dengan mengadakan doa bersama sebelum lamaran, agar keluarga merasa dihargai.

Menurut UIN Sunan Kalijaga, perubahan budaya tidak bisa dilakukan dengan konfrontasi, melainkan melalui edukasi kultural yang santun.
Masyarakat Jawa sangat menghormati ketenangan (tentrem) dan keseimbangan (rukun). Maka, mengubah pandangan mereka harus dengan kesabaran.


💍 Baca Juga:
Solusi Pernikahan Jilu untuk Hari Bahagia

Masih banyak pasangan yang ragu melangkah karena tekanan adat dan keyakinan lama tentang “Jilu”.
Padahal, Islam sudah memberi jalan terang — bahwa setiap niat baik yang berlandaskan iman dan cinta akan Allah selalu punya keberkahan tersendiri.

Dalam artikel ini, kita mengulas solusi Islami dan kultural bagi pasangan yang ingin menikah meski dianggap “Jilu”:
mulai dari cara mengomunikasikan niat baik pada keluarga, mencari restu tanpa menyinggung, hingga strategi agar hari bahagia tetap berjalan dengan tenang dan penuh berkah.

🌸 Jangan biarkan mitos menghalangi langkah menuju cinta yang sah dan diridhai.
👉 Temukan solusi pernikahan Jilu yang penuh kedamaian di sini.


🔵 FAQ: Pertanyaan Umum tentang Pernikahan Jilu Menurut Islam

1. Apakah pernikahan Jilu dilarang dalam Islam?
Tidak. Tidak ada dalil syar’i yang melarang pernikahan berdasarkan urutan kelahiran. Islam hanya mengatur syarat dan rukun nikah.

2. Dari mana asal larangan Jilu?
Larangan ini berasal dari primbon Jawa yang mengaitkan nasib dengan urutan anak dan waktu kelahiran.

3. Mengapa masyarakat masih percaya Jilu?
Karena faktor budaya, tekanan sosial, dan keinginan menjaga keharmonisan keluarga besar.

4. Apakah berdosa jika melanggar adat Jilu?
Tidak berdosa selama niatnya baik dan sesuai syariat Islam. Justru yang salah adalah mempercayai sesuatu tanpa dasar dalil.

5. Bagaimana cara meyakinkan keluarga yang masih percaya Jilu?
Gunakan pendekatan lembut, tunjukkan dalil Islam, dan libatkan tokoh agama agar tidak menyinggung orang tua.

6. Adakah contoh pasangan yang tetap harmonis meski menikah Jilu?
Banyak. Bahkan beberapa tokoh publik Jawa menikah tanpa mempermasalahkan urutan anak dan hidup bahagia.

7. Apa pesan ulama tentang kepercayaan seperti Jilu?
Menurut MUI, umat Islam hendaknya menghindari takhayul dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam urusan kehidupan.


🟢 Kesimpulan: Antara Adat, Iman, dan Cinta yang Dewasa

Islam tidak melarang budaya — selama tidak menyalahi akidah.
Jilu adalah bagian dari sejarah kebudayaan Jawa, tapi tidak bisa dijadikan patokan halal-haram dalam pernikahan.

Pernikahan yang diberkahi adalah yang dilandasi niat baik, restu orang tua, dan ketakwaan.
Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum:21 bahwa pernikahan diciptakan agar manusia menemukan sakinah, mawaddah, warahmah — bukan dihantui oleh angka.

“Pada akhirnya, keberkahan rumah tangga bukan ditentukan oleh urutan kelahiran, tapi oleh cinta yang tulus dan keyakinan yang teguh pada takdir Allah.”


🕋 Profil Penulis

Irfansyah – penulis dan peneliti budaya pernikahan, kontributor tetap di Kitaberdua.wedding. Aktif meneliti relasi adat dan syariat di Jawa Tengah.

📍 Lokasi: Yogyakarta, Jawa Tengah
📞 Kontak: redaksi@kitaberdua.wedding


📚 Sumber Referensi

  • Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fatwa 2024 tentang Takhayul dan Adat Pernikahan.
  • UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kajian Budaya dan Religiusitas Adat Jawa (2023).
  • BRIN, Tradisi Jilu dan Transformasi Sosial Jawa Tengah (2023).
  • Litbang Kompas, Survei Kepercayaan Budaya Jawa terhadap Pernikahan (2023).
  • kbwlovecom Insight, Pandangan Islam dan Sosial terhadap Tradisi Jilu (2025).

Berbagi

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tema Undangan Digital

template-premium-13
Tema Premium
tema-adat-batak
Tema Adat
tema-premium-9
Tema Premium
Undad Papua
Tema Adat
tema-premium-2
Tema Premium
tema-adat-betawi
Tema Adat
tema-premium-11
Tema Premium
tema-premium-5
Tema Premium

Undangan Website

Pilihan Tema Undangan Digital

Undangan Video

Pilihan Tema Undangan Video